Seputarsulawesi.com, Polewali Mandar- Nama Imam Lapeo tentu sudah tak asing lagi bagi masyarakat di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Lahir dengan nama K.H. Muhammad Thahir, nama Lapeo diambil dari nama salah satu kampung di Kecamatan Campalagian, Mandar.
Imam Lapeo dilahirkan pada tahun 1839 ketika raja Balanipa ke-41 menjalankan pemerintahannya di Mandar. Silsilah dalam keluarga Imam Lapeo dari pihak ayah bersambung sampai Sunan Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali walisongo yang menjadi penyebar agama Islam di Gresik. Sedangkan silsilah Imam Lapeo dari pihak Ibu merupakan keturunan bangsawan dan anak pertama dari empat saudara perempuan, yaitu Siti Aras, Siti Rahmah, dan Samaniah.
Imam Lapeo mulai belajar dan membaca Al-Qur’an di Pambusuang (Mandar). Imam Lapeo memperoleh pelajaran ngaji dari Kakeknya Abdul Karim yang terkenal sebagai penghafal Al Quran. Selain pendidikan Al Quran yang diperoleh berkembang pula pendidikan pondok pesantren. Namun Imam Lapeo tidak merasa puas jika hanya mencari Ilmu di Pambusuang. Pada saat usia 16-17 tahun , sang Imam pergi ke Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Setelah berumur 22 tahun beliau belajar di Makkah. Semangat Imam Lapeo dalam menuntut Ilmu di kampong halaman hingga ke Makkah menggambarkan tekad bulat untuk menyabarkan dakwah islam nusantara.
Dalam buku “Jejak Wali Nusantara (Kisah Kewalian Imam Lapeo di Masyarakat Mandar)”, pada saat penyebaran dakwah Islam, di Desa Lapeo dilanda krisis keimanan, praktik-praktik peyembahan berhala, penganut agama passorongan nenek moyang, juga ditambah penyakit masyarakat yang suka menyabung ayam, perjudian yang merajalela.
Kedatangan Annangguru Imam lapeo, sebutan bagi seorang wali yang menjadi pemimpin keagamaan mempengaruhi serta merubah pola hidup masyarakat, expansi pembasmian berhala, dilakukan oleh imam Lapeo melalui berbabagi metode pendekatan dakwah: pendekatan sosial, psikologis, dan pendekatan budaya menjadi salah satu strategi dalam mengahadapi masyarakat sebagai obyek dakwah.
Hal ini menggambarkan bagaimana Imam Lapeo tidak secara langsung mengajak orang-orang yang gemar menyabung ayam untuk langsung bertaubat, apalagi dengan jalan kekerasan.
Dengan penuh kebijaksanaan, Imam Lapeo merangkul orang-orang itu secara perlahan hingga tradisi sabung ayam dapat dihilangkan dalam memoriam masyarakat. Selain itu Imam Lapeo juga mulai memasukkan unsur-unsur kesenian sastra Mandar dalam menyiarkan agama Islam, seperti : Kalindadaq (pantun), Pakkacaping (Kecapi), Pakkeke (semacam seruling), dan parrabbana.
Dalam buku yang memuat tentang perjalanan hidup Imam Lapeo yang ditulis oleh cucunya sendiri, Syarifuddin Muhsin, ada 74 karamah (kelebihan) dalam kisah hidup Imam Lapeo.
Disebutkan, sebagian di antaranya yakni menyelamatkan orang tenggelam, melerai perkelahian di Parabaya, menghentikan penyiksaan KNIL, jadi perlindungan Arajang Balanipa, berbicara dengan orang mati, menangkap ikan di laut tanpa kail, memendekkan kayu, menghardik jenazah, mengatasi pendoti-doti (guna-guna), sholat jum’at pada tiga tempat pada waktu bersamaan, menebang kayu dengan tangisan bayi.
Peran Imam Lapeo mengajarkan nilai-nilai Islam tidak terlepas dari karamah kesufian yang ada pada dirinya. Imam Lapeo adalah ulama yang tidak mendakwah dalam lisan saja. Dia juga ulama yang memiliki peran konkrit.
Menurut hasil pencatatan anak cucunya, setidaknya ada 17 mesjid yang tersebar di pesisir Sulawesi Barat yang pembangunannya diprakarsai oleh Imam Lapeo. Sepertinya belum ada ulama, tokoh, dan pejabat di Sulawesi Barat yang bisa menyamai rekor Imam Lapeo
Imam Lapeo wafat pada usia 114 tahun, tanggal 17 Juni 1952 di Lapeo (sekarang wilayah Kec. Campalagian, Kab. Polman). Dimakamkan di halaman Masjid Nur Al-Taubah di Lapeo yang dibangunnya. (Di daerah Mandar lebih dikenal dengan sebutan Masigi Lapeo ‘Masjid Lapeo’ yang terkenal dengan menaranya yang tinggi). Makamnya, sampai saat sekarang ini banyak dikunjungi/diziarahi oleh masyarakat yang datang dari berbagai daerah.
Diolah dari berbagai Sumbe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar